Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 19 April 2016: Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengatakan perlu adanya pengaturan atau regulas lebih lanjut terkait bisnis FinTech di Indonesia.
Regulasi
tersebut mencakup pada teknologi, keamanan operasional, sumber daya
manusia, serta pengelolaan dan manajemen risiko. Hal ini disampaikan Ketua DK OJK dalam sebuah seminar bertajuk Peluang dan Tantangan FinTech dalam Memperluas Akses Keuangan yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (19/4).
Sementara itu, untuk memperkuat landasan operasional bisnis FinTech Company di Indonesia serta menjamin perlindungan terhadap konsumen, OJK merasa perlu adanya mekanisme perizinan bagi FinTech Company yang akan memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat.
"Selanjutnya, mengingat sifat aktivitas FinTech yang lintas sektoral, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi yang erat antar otoritas yang terkait seperti OJK, BI, Kementerian Kominfo, Perdagangan, Perindustrian, dan regulator lain yang terkait, dalam mengatur dan mengawasi aktifitas FinTech, sehingga keberadaan FinTech mampu memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan perekonomian," tuturnya.
OJK sadar bisnis FinTech menawarkan berbagai potensi dalam
mendorong peningkatan akses keuangan masyarakat. Sebagai perusahaan yang menyediakan layanan jasa keuangan dengan basis teknologi informasi, secara global FinTech saat ini sudah berkembang sangat pesat dan memiliki pangsa pasar yang besar. Investasi global pada FinTech diperkirakan telah mencapai US$12M pada tahun 2014, naik lebih dari 11 kali lipat dibanding tahun 2008. FinTech terutama berkembang cukup pesar di Amerika Serikat dan Eropa khususnya di Inggris, sementara di kawasan Asia Pasifik, perkembangan pesat terjadi di Singapura dan Hongkong.
FinTech sendiri saat ini sudah mampu menyediakan berbagai aplikasi dan layanan jasa yang diperlukan masyarakat, khususnya jasa di bidang keuangan, mulai dari penyediaan sistem pembayaran dan transfer uang (mobile wallet), platform layanan manajemen investasi (sell-buy and advisory), hingga peer-to-peer lending or equity, yang keseluruhannya ditandai oleh satu ciri khas yang sama yakni penyediaan dan pemanfaatan solusi teknologi yang inovatif untuk meningkatkan efisiensi sistem finansial.
Dalam konteks inklusi keuangan, berbagai layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh FinTech tersebut memiliki potensi besar dalam mendorong perluasan akses keuangan bagi masyarakat, khususnya masyarakat terpencil dan unbanked people, melalui keunggulannya dalam hal kecepatan, efisiensi dan akuntabilitas. Dengan efisiensi sistem yang dimiliki, FinTech Company mampu menawarkan akses keuangan dengan biaya operasional yang lebih kompetitif. Didukung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti mobile phone, maka potensinya dalam mendorong peningkatan akses keuangan bagi masyarakat luas menjadi sangat besar.
Banyak
potensi yang bisa digarap oleh FinTech Company dan dapat bersinergi dengan
industri keuangan lokal seperti BPD, BPR, koperasi dan lembaga keuangan mikro
agar mampu bersaing dengan lembaga keuangan yang lebih mapan, melalui
pemanfaatan teknologi informasi yang relatif lebih murah dan efisien. FinTech
juga dapat dikembangkan untuk merangkul jutaan masyarakat Indonesia untuk masuk
ke dalam sektor jasa keuangan, melalui penyediaan kemudahan akses terhadap
berbagai produk-produk keuangan yang disesuaikan dengan karakteristik
masyarakat, seperti antara lain E-cash/E-wallet,
basic saving account, reksadana, asuransi
mikro, serta pembiayaan UKM dan Start-Up.
"OJK optimistis
bahwa pengembangan dan pemanfaatan teknologi Informasi di Industri jasa
Keuangan, khususnya dengan keberadaan FinTech di industri jasa keuangan
Indonesia akan memberikan nilai tambah dalam meningkatkan akses keuangan
dan kemandirian finansial masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan
pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat," tutup Muliaman.