Rezim Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) di Indonesia
merupakan serangkaian pengaturan dan proses pelaksanaan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme (TPPU dan
TPPT), yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait termasuk
masyarakat.
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar
internasional di bidang APU PPT, Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TPPT) sebagai landasan
hukum yang kuat dalam segala upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT.
Presiden RI juga telah menetapkan pembentukan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU) yang merupakan badan koordinasi nasional yang terdiri dari 16 Kementerian/Lembaga yang bertugas untuk melakukan koordinasi nasional dalam pengambilan kebijakan pencegahan dan pemberantasan TPPU/TPPT dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Pada tahun 2017, Komite TPPU telah menetapkan Strategi Nasional Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme tahun 2017 – 2019 yang mencakup 7 strategi. Pertama, menurunkan tingkat tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana perpajakan melalui optimalisasi penegakan hukup TPPU. Kedua, mewujudkan mitigasi risiko yang efektif dalam mencegah terjadinya TPPU dan TPPT di Indonesia. Ketiga, optimalisasi upaya pencegahan dan pemberantasan TPPT. Keempat, menguatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta. Kelima, meningkatkan pemanfaatan instrumen kerjasama internasional dalam rangka optimalisasi asset recovery yang berada dinegara lain. Keenam, meningkatkan kedudukan dan posisi Indonesia di forum internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT. Ketujuh, penguatan regulasi dan peningkatan pengawasan pembawaan uang tunai lintas batas negara sebagai media pendanaan terorisme.
Dalam rezim APU PPT Indonesia, OJK berperan sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) yang memiliki kewenangan pengaturan, pengawasan dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor yang berada di bawah kewenangannya meliputi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank (IKNB). Sektor Jasa Keuangan merupakan sektor penting dalam rezim APU PPT baik dari sisi tingkat risiko terjadinya TPPU dan TPPT, materialitas (ukuran, integrasi, jenis produk dan lembaga, hingga nilai bisnis), dan elemen struktural (pengaturan dan pengawasan yang memadai). Oleh karena itu, OJK memiliki peran signifikan dalam pelaksanaan tugas sebagai LPP. OJK telah mengeluarkan ketentuan penerapan program APU PPT berbasis risiko yang terintegrasi untuk seluruh sektor jasa keuangan yaitu Peraturan OJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, serta pedomannya masing-masing untuk sektor jasa keuangan. OJK juga menerapkan pengawasan APU PPT yang berbasis risiko sehingga frekuensi dan cakupan pengawasan disesuaikan dengan tingkat risiko, serta alokasi sumber daya dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
Pihak Pelapor sendiri memiliki peran penting dalam upaya pencegahan TPPU dan TPPT melalui penerapan program APU PPT yang berbasis risiko dan pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selaku Financial Intelligence Unit (FIU). Sebagaimana diatur pada UU TPPU dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 2015, Pihak Pelapor yang berada di bawah pengaturan dan pengawasan OJK meliputi Bank, Perusahaan Pembiayaan, Asuransi dan Pialang Asuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Perusahaan Efek, Manajer Investasi, Kustodian, Wali Amanat, Pergadaian, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Pembiayaan Infrastruktur, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor.
Selain LPP dan Pihak Pelapor, pada rezim APU PPT Indonesia terdapat pihak-pihak terkait lainnya yaitu:
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berperan sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) yang bertugas baik dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT dengan kewenangan menerima dan menganalisis, semua informasi terkait keuangan dan menyampaikannya kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
Aparat Penegak Hukum terdiri dari lembaga penyelidikan, lembaga penuntutan dan eksekusi, serta lembaga peradilan. Dalam rezim APU PPT di Indonesia, aparat penegak hukum memiliki peran dalam pemberantasan TPPU dan TPPT.
Masyarakat memiliki peran penting dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT. Peran masyarakat adalah memberikan data dan informasi kepada Pihak Pelapor ketika melakukan hubungan usaha dengan Pihak Pelapor. Di samping itu, masyarakat juga dapat berperan aktif dalam memberikan informasi kepada aparat penegak hukum yang berwenang atau PPATK apabila mengetahui adanya perbuatan yang berindikasi pencucian uang.