Informasi Negara Berisiko Tinggi yang Dipublikasikan oleh Financial Action Task Force (FATF) – Juni 2025

​​

Secara rutin, Financial Action Task Force (FATF) mempublikasikan informasi negara berisiko tinggi dan tidak kooperatif pada laman resminya. Informasi daftar negara yang dirilis pada Juni 2025 sebagai berikut.

1.   High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action

High-Risk Jurisdictions merupakan negara/yuridiksi yang memiliki defisiensi strategis yang signifikan pada rezim Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (APU PPT PPPSPM).

 

Bagi seluruh negara yang teridentifikasi sebagai berisiko tinggi, FATF meminta seluruh anggota dan mendesak seluruh yuridiksi untuk menerapkan enhanced due diligence (EDD) serta dalam keadaan sangat serius, negara-negara diminta untuk menerapkan countermeasures (tindakan penanggulangan) untuk melindungi sistem keuangan internasional dari risiko pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi. Daftar ini lebih dikenal sebagai “black list".

 

Sejak Februari 2020, Iran melaporkan pada Januari, Agustus, dan Desember 2024 tanpa ada perubahan material dalam status rencana aksinya. Mengingat risiko pendanaan proliferasi yang meningkat, FATF kembali menekankan untuk menerapkan countermeasures terhadap yuridiksi berisiko tinggi tersebut.

a.    Jurisdictions subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply countermeasures

  • Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea/DPRK)

    FATF tetap prihatin atas kegagalan DPRK dalam menangani defisiensi yang signifikan dalam rezim APU PPT dan ancaman dari aktivitas ilegal terkait PPSPM.

    Sejak 2011, FATF terus menekankan perlunya seluruh negara untuk mengimplementasikan secara tegas sanksi keuangan sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) dan menerapkan countermeasures untuk melindungi sistem keuangan dari ancaman pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi yang muncul dari DPRK:
  • ​Mengakhiri hubungan korespondensi dengan bank-bank DPRK;
  • Menutup anak usaha atau cabang bank-bank DPRK di negara- negara mereka; dan
  • Membatasi hubungan bisnis dan transaksi keuangan dengan orang-orang DPRK.

     Meski ada seruan tersebut, DPRK tetap memperluas konektivitas dengan sistem keuangan internasional sehingga risiko pendanaan proliferasi meningkat sebagaimana yang dicatat FATF pada Februari 2024. Hal ini menyebabkan perlunya kewaspadaan yang lebih besar dan pembaruan penerapan serta penegakan countermeasures terhadap DPRK. Sebagaimana diatur dalam UNSCR 2270, DPRK sering menggunakan front companies, perusahaan cangkang, joint venture, serta struktur kepemilikan yang rumit dan tidak jelas untuk melanggar sanksi. Oleh karena itu, FATF mendorong anggotanya dan semua negara untuk menerapkan EDD kepada DPRK dan kemampuannya untuk memfasilitasi transaksi atas nama DPRK.

    FATF juga mendorong negara-negara untuk menilai dan memperhitungkan risiko pendanaan proliferasi yang meningkat seiring meluasnya konektivitas keuangan, terutama karena pada penilaian putaran berikutnya negara-negara wajib menilai risiko tersebut sesuai Rekomendasi 1 dan Immediate Outcome 11. Kemampuan mendapatkan informasi yang kredibel dan dapat diandalkan untuk mendukung penilaian risiko pendanaan proliferasi terkait DPRK terhambat dengan berakhirnya mandat 1718 Committee Panel of Experts. Dengan demikian, FATF akan memantau langkah-langkah untuk mematuhi sanksi keuangan yang ditargetkan terhadap DPRK dan impelementasi countermeasures terhadap DPRK.  
     
  • Iran
    Pada Juni 2016, Iran berkomitmen untuk membahas defisiensi strategisnya. Rencana aksi Iran telah berakhir pada Januari 2018 dan pada Februari 2020, FATF mencatat Iran belum menyelesaikan rencana aksi tersebut.

    Pada Oktober 2019, FATF meminta anggotanya dan mendesak seluruh yuridiksi untuk: meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap cabang dan anak usaha dari lembaga keuangan yang berbasis di Iran; menggunakan sistem pelaporan yang lebih baik atau pelaporan transaksi keuangan yang sistematis; dan mensyaratkan peningkatan persyaratan audit eksternal untuk konglomerasi keuangan sehubungan dengan cabang dan anak usaha yang berlokasi di Iran.

    Saat ini, mengingat kegagalan Iran untuk memberlakukan Palermo and Terrorist Financing Conventions yang sejalan dengan standar FATF, FATF sepenuhnya mencabut penangguhan countermeasures dan meminta anggotanya serta semua yuridiksi untuk menerapkan countermeasures yang efektif sejalan dengan Rekomendasi 19.

    Iran akan tetap menjadi High Risk Jurisdictions Subject to a Call for Action sesuai dengan pernyataan FATF sampai seluruh rencana aksi terpenuhi. Jika Iran meratifikasi Palermo and Terrorist Financing Conventions sesuai dengan standar FATF, FATF akan memutuskan langkah selanjutnya, termasuk apakah countermeasures akan ditangguhkan. Sampai Iran mengimplementasikan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menangani defisiensi yang teridentifikasi sehubungan dengan PPSPM dalam rencana aksi, FATF akan tetap memperhatikan risiko pendanaan terorisme yang muncul dari Iran dan ancaman yang muncul terhadap sistem keuangan internasional.
     

b.    Jurisdiction subject to a FATF call on its members and other jurisdictions to apply enhanced due diligence measures proportionate to the risks arising from the jurisdiction

  • Myanmar
    Pada Februari 2020, Myanmar berkomitmen untuk membahas defisiensi strategisnya. Rencana aksi Myanmar telah berakhir pada September 2021.

    Pada Oktober 2022, mengingat kurangnya kemajuan dan rencana aksi yang belum ditangani setelah setahun lewat dari tenggat rencana aksi, FATF memutuskan bahwa aksi lanjutan diperlukan sejalan dengan prosedurnya serta FATF meminta anggotanya dan yuridiksi lain untuk menerapkan langkah EDD sesuai risiko yang muncul dari Myanmar. Sebagai bagian dari EDD, FATF mewajibkan lembaga keuangan untuk meningkatkan derajat dan dasar pengawasan hubungan bisnis dalam rangka menentukan apakah transaksi atau aktivitas tersebut terlihat tidak biasa atau mencurigakan. Jika tidak ada kemajuan per Oktober 2025, FATF akan mempertimbangkan countermeasures.

    Myanmar harus segera melaksanakan rencana aksi FATF-nya untuk menangani pokok defisiensinya, termasuk dengan: (1) mendemonstrasikan penggunaan yang lebih maju dari financial intelligence di investigasi law enforcement authorities (LEAs) serta meningkatkan analisis operasional dan diseminasi oleh financial intelligence unit (FIU); (2) memastikan bahwa TPPU diselidiki/dituntut sesuai dengan risikonya; (3) mendemonstrasikan investigasi kasus TPPU transnasional dengan kerja sama internasional; (4) menunjukkan peningkatan pembekuan/penyitaan dan penyitaan hasil tindak pidana, alat-alat, dan/atau harta benda yang nilainya setara; dan (5) mengelola harta sitaan untuk menjaga nilai barang sitaan sampai dengan penyitaan.

    Ketika menerapkan EDD, negara perlu memastikan bahwa aliran dana untuk bantuan kemanusiaan, aktivitas NPO yang sah, dan pengiriman uang tidak terganggu maupun terhambat. Utamanya terkait bantuan gempa bumi di Myanmar, FATF memahami pentingnya memastikan implementasi rekomendasi tidak berdampak pada NPO apalagi menghalangi masyarakat sipil dan pemberian bantuan kemanusiaan. FATF juga akan terus memantau apakah aktivitas APU PPT Myanmar menerapkan pengawasan yang tidak semestinya terhadap aliran keuangan yang sah.

    Myanmar akan tetap berada dalam daftar countries subject to a call for action sampai seluruh rencana aksi terpenuhi.  

     

2.   Jurisdictions under Increased Monitoring

Jurisdictions under increased monitoring secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk menangani kelemahan strategis dalam rezim APU PPT PPPSPM mereka. Ketika FATF menempatkan suatu yuridiksi dalam status under increased monitoring, hal ini berarti negara tersebut berkomitmen untuk mengatasi dengan cepat kelemahan tersebut dalam rentang waktu yang disepakati dan merupakan subyek pengetatan pemantauan. Daftar ini sering disebut sebagai “grey list".

 FATF dan FATF-style regional bodies (FSRBs) terus bekerja sama dengan yuridiksi di bawah ini seiring laporan kemajuan yang dicapai yuridiksi tersebut dalam menangani defisiensi strategis. FATF meminta yuridiksi tersebut untuk memenuhi rencana aksi secepatnya dan dalam rentang waktu yang disepakati. FATF menyambut baik komitmen mereka dan akan memantau kemajuannya dengan cermat. FATF tidak menyerukan penerapan langkah-langkah EDD untuk diterapkan pada daftar yurisdiksi ini. Standar FATF tidak mengatur de-risking, atau penghentian seluruh kelompok nasabah, namun menyerukan penerapan pendekatan berbasis risiko. Oleh karena itu, FATF mendorong para anggotanya dan seluruh yurisdiksi untuk mempertimbangkan informasi yang disajikan di bawah ini dalam analisis risiko mereka.

 FATF secara berkelanjutan, terus mengidentifikasi yurisdiksi lain yang memiliki defisiensi strategis dalam rezim APU, PPT, dan PPPSPM. Sejumlah yurisdiksi belum ditinjau oleh FATF dan FSRB, namun akan dilakukan sesuai dengan jadwalnya.

 

Negara yang termasuk dalam kategori ini:

Tanggal Jurisdiction with strategic deficienciesJurisdiction no longer Subject to monitoring
13 Juni 2025

Algeria

 

Angola

 

Bolivia

 

Bulgaria

 

Burkina Faso

 

Cameroon

 

Cote D'Ivorie (Pantai Gading)

 

Democratic Republic of the Congo

 

Haiti

 

Kenya

 

Lao PDR (Laos)

 

Lebanon

 

Monaco

 

Mozambique

 

Namibia

 

Nepal

 

Nigeria

 

South Africa

 

South Sudan

 

Syria

 

Venezuela

 

Vietnam

 

Virgin Islands (UK)

 

Yemen

Croatia

 

Mali

 

United Republic of Tanzania

 

Sumber:

Artikel Terkait Lain