MinisiteOJK - DaftarFAQ

Frequently Asked Questions

​​OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Sementara berdasarkan pasal 6 dari UU No 21 tahun 2011, tugas utama dari OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap :

  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 

Adapun wewenang yang dimiliki OJK adalah sebagai berikut:

a.    Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi:​

  • Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
  • Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
  • Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;
  • Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; serta pemeriksaan bank.

b.    Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) meliputi:

  • Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
  • Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
  • Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
  • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
  • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan;
  • Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menata usahakan kekayaan dan kewajiban;
  • Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.
     

c.     Terkait pengawasan lembaga jasa keuangan (bank dan non-bank) meliputi:

  • Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
  • Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
  • Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan;
  • Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
  • Melakukan penunjukan pengelola statuter;
  • Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
  • Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  • Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.​

​Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 tersebut.

Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan pasar modal secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga Keuangan Mikro pada 2015.

Ketentuan PEP di Sektor Jasa Keuangan mengacu pada POJK APU PPT, dimana peraturan dimaksud telah disesuaikan dengan Rekomendasi FATF dan telah dikomunikasikan dengan stakeholder terkait, termasuk PPATK. Pada prinsipnya, definisi PEP sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 POJK APU PPT mengacu pada: 
  1. Orang yang diberi kewenangan melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara, negara lain (asing) atau organisasi internasional, atau yang masih mengemban kewenangan dimaksud; dan 
  2. Tidak dimaksudkan untuk mencakup pihak dari level jabatan menengah atau lebih junior.
Namun demikian, berdasarkan hasil penilaian risiko yang dilakukan oleh PJK, PJK dapat: 
  1. Menetapkan level jabatan menengah atau junior sebagai PEP, apabila yang bersangkutan mempunyai potensi tinggi melakukan Pencuciang Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. 
  2. Menetapkan seorang yang tidak lagi menjabat sebagai PEP, apabila yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu (6 bulan, 1 tahun, 2 tahun dst) tidak menjabat, namun yang bersangkutan mempunyai risiko tinggi melakukan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. 


Berdasarkan pasal 40 POJK APU PPT, PJK dapat menerapkan CDD sederhana terhadap Calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria tertentu. Penentuan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme terhadap Calon Nasabah didasarkan pada minimal 4 (empat) faktor risiko yang meliputi risiko profil nasabah, risiko produk/jasa/transaksi, negara/area geografis/yurisdiksi, atau jaringan distribusi (delivery channels), termasuk faktor lain yang ditetapkan oleh PJK. Dengan berdasar pada hasil penentuan tingkat risiko nasabah, maka apabila calon nasabah atau transaksi memiliki tingkat risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme menengah atau tinggi, maka PJK tidak dimungkinkan menerapkan CDD Sederhana. 

PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana tersendiri sesuai dengan penilaian risiko atas Calon Nasabah yang berdasarkan penilaian risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria Calon Nasabah dengan profil dan karakteristik sederhana. Selain itu, PJK yang menerapkan prosedur CDD sederhana tersendiri juga memiliki kewajiban untuk memberitahukan hal tersebut kepada OJK melalui pengawas dari PJK tersebut, yang pemberitahuannya meliputi informasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (5) POJK APU PPT.


Sehubungan dengan pelaksanaan verifikasi Calon Nasabah atau Nasabah berdasarkan POJK No. 12/POJK.01/2017 sebagaimana telah diubah dengan POJK No. 23/POJK.01/2019 tentang Penerapan Program APU dan PPT di Sektor Jasa Keuangan (POJK APU PPT), PJK wajib melakukan verifikasi kebenaran identitas Calon Nasabah melalui pertemuan langsung (face to face) dengan Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon Nasabah. 

Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) dapat digantikan atau dikecualikan dengan ketentuan sebagai berikut: 

  1. Pasal 17 ayat (3) POJK APU PPT, verifikasi face to face dapat digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK atau milik pihak ketiga, dimana pihak ketiga dimaksud wajib mendapat persetujuan OJK dan memenuhi ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara kerja sama dengan Pihak Ketiga.
    Sebagai contoh, verifikasi secara face to face melalui sarana elektronik milik PJK antara lain dapat dilakukan dengan video banking yang menggunakan perangkat milik PJK, dimana sifatnya menghubungkan secara langsung dan online antara Calon Nasabah dengan petugas dari PJK.
  2. Pasal 17 ayat (4) APU PPT, proses verifikasi secara face to face dapat dikecualikan dengan verifikasi non face to face, dimana verifikasi dilakukan melalui proses dan sarana elektronik milik PJK dan/atau milik Calon Nasabah, serta memanfaatkan data kependudukan yang memenuhi 2 (dua) faktor otentikasi. 2 (dua) faktor otentikasi dimaksud mencakup: 
    • What you have, dokumen identitas yang dimiliki oleh calon nasabah yaitu KTP Elektronik; dan 
    • What you are, data biometrik antara lain dalam bentuk sidik jari milik Calon Nasabah. 

Data kependudukan yang memenuhi 2 (dua) faktor otentikasi adalah KTP Elektronik yang diterbitkan oleh Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri). Sebagai tambahan, Nasabah yang proses verifikasinya tidak melalui pertemuan langsung (face to face) tidak serta merta menjadikan nasabah tersebut langsung dikategorikan sebagai nasabah berisiko tinggi.


​Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Misi OJK adalah:

  1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; 
  2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta; 
  3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dokumen yang dipersyaratkan dalam rangka membuka hubungan usaha dengan PJK merupakan bagian dari proses verifikasi atas informasi dan data yang diberikan dalam proses identifikasi, dimana keseluruhannya (identifikasi dan verifikasi) merupakan bagian dari uji tuntas nasabah (Customer Due Diligence) atau uji tuntas lanjut (Enhanced Due Diligent). Bekaitan dengan penjelasan tersebut, POJK APU PPT tidak mengatur dan tidak melarang bagi WNA untuk membuka hubungan usaha dengan PJK, sehingga WNA dapat menjadi calon nasabah dari PJK di Indonesia. 
Bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) dan WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a POJK APU PPT, baik yang merupakan WNI atau WNA yang berkedudukan di luar negeri, dokumen yang dipersyaratkan pada prinsipnya mengacu pada Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 juncto Pasal 21 POJK APU PPT, yang didalamnya mewajibkan dokumen identitas calon nasabah dan spesimen tanda tangan dengan penjelasan sebagai berikut:
  1. Dokumen pendukung identitas Calon Nasabah 
    • Bagi calon nasabah perorangan WNI, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor yang masih berlaku; 
    • Bagi calon nasabah perorangan WNA, paspor yang disertai dengan Kartu Izin Tinggal sesuai dengan ketentuan keimigrasian. Kartu Izin Tinggal dapat digantikan dengan dokumen lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada PJK tentang profil Calon Nasabah berkewarganegaraan asing tersebut, antara lain surat referensi dari (i) seorang berkewarganegaraan Indonesia atau perusahaan/instansi/pemerintah Indonesia mengenai profil Calon Nasabah berkewarganegaraan asing; atau (ii) PJK di negara atau jurisdiksi tempat kedudukan Calon Nasabah dan negara atau jurisdiksi tersebut tidak tergolong berisiko tinggi).
  2. Spesimen tanda tangan
    Spesimen tanda tangan dibuat sesuai dengan dokumen identitas dan wajib turut disertakan dengan dokumen pendukung identitas. Dalam hal terdapat perbedaan antara spesimen tanda tangan dengan dokumen identitas, POJK APU PPT tidak mengatur mengenai pengakuan dari calon nasabah terkait/pihak yang membuat tanda tangan mengenai perbedaan tersebut (menunjuk pada Pasal 1875 KUH Perdata). Namun demikian PJK dapat menambahkan pengakuan tersebut sebagai dokumen tambahan untuk lebih memastikan bahwa hubungan usaha yang dilakukan calon nasabah atau WIC telah sesuai dengan profil risiko serta hasil penilaian, termasuk mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan teroris terhadadap calon nasabah atau WIC dimaksud.


​Dalam hal calon nasabah, nasabah, pemilik manfaat atau WIC termasuk dalam kategori PEP, maka calon nasabah, nasabah, pemilik manfaat atau WIC tersebut harus dikategorikan sebagai nasabah berisiko tinggi dan harus dilakukan EDD, meskipun faktor inherent risk lainnya (seperti profil nasabah, risiko produk/jasa/transaksi, negara/area geografis/yurisdiksi, atau jaringan distribusi (delivery channels)) tidak termasuk dalam kategori tingkat risiko tinggi.