Merujuk Pasal 36 POJK Nomor 12/POJK.01/2017 sebagaimana diubah dengan POJK Nomor 23/POJK.01/2019 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan terkait Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang melakukan hubungan usaha dengan Nasabah dan atau melakukan transaksi yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) sesuai publikasi Financial Action Task Force (FATF) untuk dilakukan langkah pencegahan (countermeasures), PJK wajib melakukan Enhance Due Dilligence (EDD) dan meminta konfirmasi serta klarifikasi kepada otoritas terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dapat kami informasikan hal-hal sebagai berikut:
Secara regular pada laman resminya, FATF mengunggah informasi terkait negara berisiko tinggi dan tidak kooperatif. Adapun informasi daftar negara berisiko tinggi sesuai informasi pada periode Oktober 2020 adalah sebagai berikut:
1. High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action
High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action adalah daftar negara/yurisdiksi yang berisiko tinggi dimana negara tersebut memiliki kekurangan bersifat strategis yang signifikan pada rezim APU PPTnya. Untuk semua negara yang diidentifikasi FATF berisiko tinggi, FATF meminta semua anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan EDD, dan dalam keadaan yang sangat serius, menerapkan countermeasures untuk melindungi sistem keuangannya dari kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal yang risikonya berasal dari negara-negara berisiko tinggi tersebut. Pada periode sebelumnya, daftar ini disebut dengan Black List
Pada tanggal 2 Agustus 2020, FATF memutuskan untuk melakukan penundaan proses riviu terhadap High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action. Oleh karena itu, FATF menyatakan bahwa daftar High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action mengacu pada daftar yang dikeluarkan pada periode Februari 2020. Sementara penyataan tersebut mungkin tidak mencerminkan kondisi terkini dari rezim APU PPT di negara-negara tersebut, namun demikian FATF menyatakan bahwa tindakan yang perlu dilakukan pada negara tersebut tetap berlaku. Adapun negara yang masuk kedalam daftar High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action periode Februari 2020 adalah sebagai berikut:
- Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea/DPRK)
Terkait kegagalan DPRK untuk mengatasi defisiensi yang signifikan dalam rezim APU PPT dan ancaman serius yang ditimbulkannya terhadap integritas sistem keuangan internasional, FATF mendesak DPRK untuk segera mengatasi defisiensi tersebut. Lebih jauh, FATF memiliki perhatian yang serius dengan ancaman yang ditimbulkan oleh kegiatan terlarang DPRK terkait dengan proliferasi senjata pemusnah massal (WMD) dan pendanaannya.
Pada Juni 2016, Iran berkomitmen untuk mengatasi difisiensi strategisnya. Rencana aksi Iran berakhir pada Januari 2018. Pada Februari 2020, FATF mencatat Iran belum menyelesaikan rencana aksi tersebut. Saat ini, mengingat kegagalan Iran untuk memberlakukan Palermo and Terrorist Financing Conventions sejalan dengan Standar FATF, FATF sepenuhnya mencabut penangguhan langkah-langkah balasan dan menyerukan kepada para anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan countermeasure yang efektif, sejalan dengan Rekomendasi 19.
http://www.fatf-gafi.org/publications/high-risk-and-other-monitored-jurisdictions/documents/call-for-action-october-2020.html
2. Jurisdictions under Increased Monitoring
Jurisdictions under Increased Monitoring adalah daftar yurisdiksi yang secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk mengatasi kekurangan strategis di rezim APU PPT mereka. Ketika FATF menempatkan yurisdiksi dalam status di bawah pengawasan yang meningkat, itu berarti negara tersebut telah berkomitmen untuk menyelesaikan dengan cepat kekurangan strategis yang teridentifikasi dalam jangka waktu yang disepakati dan dipantau secara ketat. Sebelumnya daftar ini disebut dengan Improving Global AML/CFT Compliance On-going Process. Dalam daftar ini terdapat 2 (dua) kategori yurisdiksi, yakni Jurisdictions with strategic deficiencies yaitu yurisdiksi yang dinilai belum mengimplementasikan action plan penerapan program APU PPT sehingga dipantau secara ketat, dan Jurisdictions no longer subject to monitoring yaitu yurisdiksi yang dianggap telah memiliki kemajuan signifikan sehingga berhasil keluar dari daftar negara berisiko tinggi dan yurisdiksi lain yang dipantau.
Pada 28 April 2020, FATF memutuskan untuk melakukan penundaan proses riviu terhadap Jurisdictions under Increased Monitoring. FATF memberikan batas waktu tambahan selama 4 (empat) bulan untuk tenggat waktu riviu. Namun demikian, diberikan pengecualian terhadap Islandia dan Mongolia yang meminta untuk melanjutkan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, FATF hanya meriviu dan melakukan pertemuan secara virtual terhadap kedua negara ini. Namun demikian FATF akan terus memantau perkembangan situasi pandemic Covid-19 untuk dapat segera melaksanakan on-site visit pada kedua negara tersebut. Dengan demikian, daftar negara/yurisdiksi yang masuk kedalam Jurisdictions under Increased Monitoring pada periode Juni 2020 adalah sebagai berikut:
Tanggal | Jurisdictions with strategic deficiencies | Jurisdictions no longer Subject to monitoring |
30 Juni 2020 | Albania The Bahamas Barbados Botswana Cambodia Ghana Jamaica Mauritius Myanmar Nicaragua Pakistan Panama Syria Uganda Yemen Zimbabwe | Iceland Mongolia |
FATF dan FATF-style regional bodies (FSRBs) terus bekerja dengan yurisdiksi yang disebutkan di atas dan melaporkan kemajuan yang dibuat dalam mengatasi kekurangan strategis yang teridentifikasi. FATF menyerukan kepada yurisdiksi ini untuk menyelesaikan dengan rencana aksi yang telah mereka sepakati dan sesuai dengan jangka waktu yang diusulkan. FATF menyambut baik komitmen mereka dan akan terus memantau kemajuan mereka. FATF tidak menghimbau penerapan langkah-langkah enhanced due diligence untuk diterapkan terhadap yurisdiksi dimaksud, tetapi mendorong anggotanya untuk mempertimbangkan informasi analisis risiko untuk masing-masing negara ini.
FATF, secara berkelanjutan, terus mengidentifikasi yurisdiksi lain yang memiliki kekurangan strategis dalam rezim mereka untuk melawan pencucian uang, pendanaan teroris, dan pembiayaan proliferasi. Sejumlah yurisdiksi belum ditinjau oleh FATF dan FSRB.
Pada Sidang FATF periode Oktober 2020, FATF memberikan opsi bagi yurisdiksi yang diidentifikasi secara publik untuk tidak melaporkan kemajuan yang dibuat dalam mengatasi kekurangan stategis tersebut mengingat yuridiksi dimaksud sedang berfokus pada penanganan dampak pandemi COVID-19. Negara-negara yang memilih untuk melapor: Albania, Botswana, Kamboja, Ghana, Mauritius, Pakistan, dan Zimbabwe. Negara-negara yang menangguhkan pelaporan mereka adalah Barbados, Jamaika, Myanmar, Nikaragua, Panama, dan Uganda.
http://www.fatf-gafi.org/publications/high-risk-and-other-monitored-jurisdictions/documents/increased-monitoring-october-2020.html
Menindaklanjuti hal tersebut kami menghimbau para Penyedia Jasa Keuangan untuk menindaklanjuti dengan melakukan mitigasi risiko sesuai dengan ketentuan penerapan program APU PPT yang berlaku dan penerapan program APU PPT berbasis risiko di perusahaan masing-maing.