Overview APU PPT

Adanya globalisasi di sektor jasa keuangan yang diiringi dengan semakin berkembangnya produk jasa keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), konglomerasi, serta aktivitas dan teknologi industri jasa keuangan yang semakin kompleks baik dari sisi produk, layanan, dan penggunaan teknologi informasi, berpotensi meningkatkan risiko pemanfaatan industri jasa keuangan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, dengan berbagai modus operandinya yang semakin beragam dan maju.

Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dunia internasional memiliki Financial Action Task Force yang selanjutnya disebut FATF sebagai inter-governmental body yang bertujuan untuk menetapkan standar dan mendorong implementasi yang efektif dari tindakan hukum, peraturan, dan operasional untuk memerangi pencucian uang, pendanaan terorisme, dan acaman lainnya yang terkait terhadap inetegritas sistem keuangan internasional. Standar pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme yang dikeluarkan oleh FATF berupa rekomendasi FATF. Sejak pendiriannya pada tahun 1989, FATF telah mengeluarkan 40 rekomendasi dan 11 Immediate Outcome. Asia Pasific Group on Money Laundering merupakan salah satu FATF-style regional (FSRB) dimana Indonesia telah menjadi anggota APG sejak bulan Agustus 1999.

Di Indonesia rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selanjutnya disebut rezim APUPPT, terdiri dari:

  • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berperan sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) yang bertugas untuk mencegah dan memberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan kewenangan menerima, menganalisis, semua informasi terkait keuangan dan menyampaikannya kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
  • Pihak Pelapor merupakan pihak yang menyampaikan laporan transaksi keuangan kepada PPATK yang meliputi Penyedia Jasa Kuangan (PJK), Penyedia Barang dan atau Jasa lainnya (PBJ) dan Profesi.
  • Otoritas Jasa Kuangan bertindak sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur dimana memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi terhadap pihak Pelapor.
  • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkewajiban membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan atau instrumen pembayaran lain untuk selanjutnya disampaikan kepada PPATK.
  • Lembaga Penegak Hukum terdiri dari lembaga penyelidikan, lembaga penuntutan dan eksekusi, serta lemabag peradilan. Dalam resim APUPPT, aparat penegak hukum memiliki peran dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
  • Masyarakat memiliki peran yang sangat pentik dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT. Peran masyarakat adalah memberikan data dan informasi kepada Pihak Pelapor ketika melakukan hubungan usaha dengan Pihak Pelapor. Di samping itu, masyarakat juga dapat berperan aktif dalam memberikan informasi kepada aparat penegak hukum yang berwenang atau PPATK apabila mengetahui adanya perbuatan yang berindikasi pencucian uang.
  • Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU terdiri atas beberapa lemabaga terkait yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan secara ex-officio. Komite ini bertugas untuk melakukan koordinasi nasional dalam pengambilan kebijakan pencegahan dan pemberantasan TPPU/TPPT. Otoritas Jasa Keuangan merupakan salah satu lembaga yang tergabung dalam Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Pada tahun 2017 Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU) menetapkan Strategi Nasional Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme tahun 2017 – 2019 yang mencakup 7 strategi. Pertama, menurunkan tingkat tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana perpajakan melalui optimalisasi penegakan hukup TPPU. Kedua, mewujudkan mitigasi risiko yang efektif dalam mencegah terjadinya TPPU dan TPPT di Indonesia. Ketiga, optimalisasi upaya pencegahan dan pemberantasan TPPT. Keempat, menguatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta. Kelima, meningkatkan pemanfaatan instrumen kerjasama internasional dalam rangka optimalisasi asset recovery yang berada dinegara lain. Keenam, meningkatkan kedudukan dan posisi Indonesia di forum internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT. Ketujuh, penguatan regulasi dan peningkatan pengawasan pembawaan uang tunai lintas batas negara sebagai media pendanaan terorisme.

OJK mendapat mandat untuk melakukan pengawasan pada penerapan program APU PPT berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dimana dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (4) berbunyi: "Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa (nasabah) dan melaksanakan pengawasan kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali nasabah." Serta Pasal 31 yang berbunyi: "Pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelapor bagi Pihak Pelapor dilakukan oleh LPP dan atau PPATK."

          Selain itu, berdasarkan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) diatur bahwa Pasal 12 "LPP menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa Keuangan, termasuk Pengguna Jasa Keuangan yang terkait tindak pidana pendanaan terorisme, adapaun ketentuan sebagaimana dimaksud diatur tersendiri oleh LPP dan wajib diterapkan oleh PJK." Pasal 14 "Pengawasan kepatuhan PJK atas kewajiban pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait Pendanaan Terorisme dilakukan oleh PPATK dan LPP yang berwenang."

          Melalui penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan yang berstandar internasional, diharapkan PJK dapat melakukan kegiatannya secara lebih sehat dan lebih berdaya saing global sehingga pada akhirnya akan lebih mendorong pertumbuhan industri jasa keuangan secara nasional.