Indonesia dalam FATF FinTech and RegTech Initiative

FinTech and RegTech Initiative.pngFATF pada laman resminya telah meluncurkan platform baru yang bertujuan untuk berbagi berbagai inisiatif dan pengembangan mengenai Financial Technologies (FinTech) yang diharapkan dapat bermanfaat bagi sektor jasa keuangan di berbagai negara, baik bagi pemerintah maupun Penyedia Jasa Keuangan pada masing-masing negara tersebut. FATF mendukung penuh inovasi keuangan yang bertanggung jawab dan sejalan dengan standar FATF, serta mendukung eksplorasi terhadap peluang-peluang financial and regulatory technologies yang dapat meningkatkan efektifitas penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT).

Pada platform baru yang diluncurkan oleh FATF tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang berinisiatif untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan penyalahgunaan FinTech untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Sejak tahun 2016, Indonesia telah mengeluarkan peraturan mengenai FinTech, khususnya FinTech untuk fasilitas pembayaran dan FinTech untuk fasilitas pinjaman. Peraturan mengenai FinTech yang telah dikeluarkan di Indonesia adalah Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Peraturan-peraturan tersebut telah mewajibkan penyelenggara FinTech untuk menerapkan program APU PPT. Indonesia juga menyusun kebijakan penerapan program APU PPT pada mata uang virtual yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

Indonesia melihat manfaat dari penggunaan artificial intelligence (AI) pada FinTech seperti manfaat dalam hal (1) pengambilan keputusan yang akurat; (2) otomatisasi bantuan dan dukungan terhadap pelanggan; (3) deteksi fraud dan management claims; (4) manajemen asuransi; (5) asisten keuangan virtual otomatis; (6) analisis prediktif pada layanan jasa keuangan; dan (7) manejemen kekayaan. Selain itu, Indonesia juga melihat kerentanan FinTech yang berpotensi menjadikan entitas FinTech berisiko tinggi yaitu; (1) hanya bergantung pada database; (2) potensi serangan cyber; (3) kurangnya sistem yang memadai dalam hal mempertahankan big data; (4) bergantung pada AI; (6) ketidakakuratan alogaritma yang digunakan.

Dengan berbagi pengalaman atas inisiatif-inisiatif yang dimiliki oleh berbagai delegasi termasuk dalam hal ini Indonesia, FATF berharap pengalaman Indonesia dalam menyikapi perkembangan FinTech dapat bermanfaat bagi negara lain dan menjadi inspirasi dalam menyikapi perkembangan inovasi-inovasi pada industri jasa keuangan.

Sumber: http://www.fatf-gafi.org/fintech-regtech/delegations-initiatives/?hf=10&b=0&s=desc(fatf_releasedate)


Artikel Terkait Lain