Dalam rangka memitigasi risiko TPPU/TPPT/PPSPM yang saling terkait antar satu negara dengan negara lain, dibutuhkan upaya kolaboratif dan sinergi yang baik antar berbagai pihak, baik antara government dengan government, antara otoritas dengan otoritas, maupun antara government/otoritas dengan swasta. OJK bersama U.S Department of Justice, The Office of Prosecutorial Development, Assistance, and Training (USDOJ OPDAT) menyelenggarakan kegiatan Workshop on Assistance in the Implementation of Risk-Based AML/CFT/CFP Program and Virtual Assets in Financial Service Sector 2024 yang ditujukan kepada Penyedia Jasa Keuangan, dalam hal ini Bank yang memiliki ekosistem digital pada tanggal 27 Juni 2024 dan Pengawas OJK pada tanggal 28 Juni 2024.
Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta terkait perkembangan tren, modus, dan tipologi, serta penyalahgunaan aset virtual; dan meningkatkan pemahaman peserta dalam penerapan program APU, PPT, dan PPPSPM berbasis risiko di sektor jasa keuangan.Workshop diawali dengan keynote speech oleh Bapak Enrico Hariantoro selaku Kepala Departemen Internasional dan APU PPT Otoritas Jasa Keuangan yang menyampaikan bahwa aset virtual dapat menjadi daya tarik bagi para pelaku pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal karena sifatnya yang terdesentralisasi dan potensi transfer lintas negara tanpa perantara keuangan tradisional. Dengan demikian, diperlukan adanya upaya secara global untuk menetapkan kerangka peraturan yang efektif serta meningkatkan kolaborasi, terutama antara regulator dan Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Kegiatan dilanjutkan dengan opening remarks oleh Mr. Bruce Miyake selaku Resident Legal Advisor USDOJ OPDAT yang menyampaikan bahwa penyelenggaraan workshop merupakan kerja sama yang baik antara USDOJ OPDAT bersama OJK guna meningkatkan pemahaman PJK mengenai penerapan program APU, PPT, dan PPSPM berbasis risiko, khususnya terkait dengan aset virtual. PJK memiliki peran penting dalam penerapan program APU, PPT, dan PPPSPM terkait kewajiban untuk melakukan identifikasi, penilaian, dan pemahaman atas risiko TPPU/TPPT/PPSPM.
Kegiatan workshop dilanjutkan dengan penyampaian narasumber, yaitu Boas Hayes selaku Senior Regulatory Advisor FinCEN yang menyampaikan paparan terkait latar belakang Financial Crimes Enforcement Network (FinCen) serta tren dan tipologi global yang berkaitan dengan penyalahgunaan aset digital terhadap TPPU, TPPT, dan PPSPM serta tindak pidana lainnya. Selain itu, Mrs. Boas Hayes juga menyampaikan regulasi APU PPT terkait aset digital di Amerika Serikat, serta persyaratan untuk PJK yang terlibat dalam aktivitas aset digital yang diatur dalam Undang-Undang Kerahasiaan Bank (Bank Secrecy Act/BSA).
Kegiatan dilanjutkan dengan paparan narasumber dari Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Friska Fardhina selaku Analis Senior Direktorat APU PPT dan Arum Sulistiyaningsih selaku Analis Junior Direktorat APU PPT yang menyampaikan paparan terkait framework regulasi OJK pada penerapan program APU, PPT, dan PPPSPM di sektor jasa keuangan melalui penerbitan POJK Nomor Tahun 2023 (POJK 8/2023) pada 14 Juni 2023. Adapun penyusunan POJK 8/2023 dilatarbelakangi oleh Rekomedasi FATF sesuai hasil Mutual Evaluation Review Indonesia, harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan, serta perkembangan teknologi informasi.
Bapak Mulyadi Husin selaku Analis Eksekutif Direktorat APU PPT dan Rifki Arif Budianto selaku Analis Direktorat APU PPT menyampaikan paparan terkait rezim APU, PPT, dan PPPSPM di Indonesia serta urgensi pengawasan APU, PPT, dan PPPSPM. Beberapa hal yang berkaitan dengan refreshment sejak berlakunnya POJK 8/2023, yaitu terdapat penambahan cakupan PJK yang wajib menerapkan APU PPT dan PPSPM, diantaranya bank kustodian, wali amanat, dan Dana Pensiun Lembaga keuangan; ketentuan peralihan terkait penyesuaian program APU, PPT, dan PPPSPM bagi PJK paling lama 6 (enam) bulan sejak POJK 8/2023 diundangkan; ketentuan terkait Politically Exposed Person; ketentuan terkait spesimen tanda tangan; penghapusan ketentuan terkait Platform merujuk dari Permendagri Nomor 17 Tahun 2023; serta Golden Visa yang merupakan dokumen keimigrasian sehingga WNA yang akan membuka rekening di Indonesia dapat melampirkan paspor dan golden visa (dokumen keimigrasian).
Kegiatan dilanjutkan dengan panel discussion terkait bagaimana melakukan pengembangan regulasi APU, PPT, dan PPPSPM untuk aset digital di Indonesia dan Amerika Serikat yang dipandu oleh Mr. Bruce Miyake, Sdri. Adriane Wiryawan selaku Anali Direktorat APU PPT, dan Tim Inovasi Teknologi Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan. Peserta workshop secara secara aktif menyampaikan pertanyaan dan tanggapan dalam sesi panel discussion tersebut.