High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action
High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action memiliki defisiensi strategis signifikan pada rezim pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM).
Untuk seluruh negara yang teridentifikasi sebagai negara berisiko tinggi, FATF meminta semua anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan Enhanced Due Diligence (EDD), dan dalam keadaan yang sangat serius, menerapkan langkah pencegahan (countermeasures) dalam rangka melindungi sistem keuangan internasional dari pencucian uang, pendanaan terorisme, dan PPSPM. Sebelumnya, daftar ini lebih dikenal dengan istilah Black List.
Sejak Februari 2020, akibat pandemi COVID-19, FATF menunda proses review terhadap Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) dan Iran, dengan kondisi FATF tetap menegaskan perlu dilakukan countermeasures terhadap kedua negara tersebut. Pada Juli 2023, Iran dilaporkan belum mencapai kemajuan/perubahan material atas status action plan mereka. Oleh karena itu, FATF menegaskan kembali seruannya untuk menerapkan countermeasures terhadap yurisdiksi berisiko tinggi tersebut yang telah tercantum dalam pernyataan FATF pada tanggal 21 Februari 2020.
Jurisdictions under Increased Monitoring
Jurisdictions under Increased Monitoring adalah yurisdiksi yang secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk mengatasi defisiensi strategis dalam rezim APU PPT dan PPPSPM mereka. Dalam hal FATF menempatkan suatu yurisdiksi ke dalam status under Increased Monitoring, berarti yurisdiksi tersebut telah berkomitmen untuk menyelesaikan defisiensi strategis yang teridentifikasi oleh FATF sesegera mungkin dalam jangka waktu yang disepakati dan dipantau secara ketat oleh FATF. Sebelumnya, daftar ini lebih dikenal sebagai Grey List.
FATF dan FATF-Style Regional Bodies (FSRB) terus bekerja sama dengan yurisdiksi tersebut dalam melaporkan kemajuan yang dicapai dalam mengatasi kelemahan strategis mereka. FATF menyerukan kepada negara-negara tersebut untuk menyelesaikan action plan secepatnya dan dalam jangka waktu yang disepakati. FATF menyambut baik komitmen mereka dan akan memantau kemajuannya dengan cermat. FATF tidak menyerukan penerapan langkah-langkah Enhanced Due Diligence (EDD) untuk diterapkan pada yurisdiksi ini. Standar FATF tidak mengatur pengurangan risiko, atau penghentian seluruh kelompok nasabah, namun menyerukan penerapan pendekatan berbasis risiko. Oleh karena itu, FATF mendorong para anggotanya dan seluruh yurisdiksi untuk mempertimbangkan informasi pada Publikasi FATF ini dalam analisis risiko.
FATF, secara berkelanjutan, terus mengidentifikasi yurisdiksi lain yang memiliki kekurangan strategis dalam rezim APU PPT dan PPPSPM. Sejumlah yurisdiksi belum ditinjau oleh FATF dan FSRB, namun akan dilakukan sesuai dengan jadwalnya.
FATF memberikan fleksibilitas kepada yurisdiksi, yang tidak memiliki batas waktu mendesak, untuk melaporkan kemajuan secara sukarela. Negara-negara berikut telah ditinjau kemajuannya oleh FATF sejak Oktober 2023: Albania, Barbados, Burkina Faso, Cayman Islands, Republik Demokratik Kongo, Gibraltar, Haiti, Jamaica, Yordani, Mali, Mozambique, Nigeria, Panama, Filipina, Senegal, Afrika Selatan, Sudan Selatan, Tanzania, Turki, Uni Emirat Arab, dan Uganda.
Sementara itu, Kamerun, Kroasia, Suriah, dan Vietnam memilih menunda pelaporan, sehingga pernyataan FATF yang sebelumnya dikeluarkan untuk yurisdiksi tersebut disertakan pada publikasi ini, namun belum tentu mencerminkan status terkini dari rezim APU PPT di yurisdiksi tersebut. Setelah peninjauan, FATF kini juga mengidentifikasi Bulgaria masuk ke dalam daftar Jurisdictions with strategic deficiencies.
Dengan demikian, daftar negara/yurisdiksi yang masuk kedalam Jurisdictions under Increased Monitoring pada periode Oktober 2023 adalah: