Informasi Negara Berisiko Tinggi yang Dipublikasikan oleh FATF – Maret 2022

Merujuk Pasal 36 POJK Nomor 12/POJK.01/2017 sebagaimana diubah dengan POJK Nomor 23/POJK.01/2019 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang melakukan hubungan usaha dengan Nasabah dan atau melakukan transaksi yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) sesuai publikasi Financial Action Task Force (FATF) wajib melakukan langkah pencegahan (countermeasures). PJK wajib melakukan Enhanced Due Dilligence (EDD) dan meminta konfirmasi serta klarifikasi kepada otoritas terkait.

Terkait dengan negara berisiko tinggi dan tidak kooperatif ini, FATF secara rutin mempublikasikan pada laman resminya. Adapun informasi daftar negara berisiko tinggi sesuai informasi pada periode Maret 2022 adalah sebagai berikut:

1.     High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action

High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action adalah negara/yurisdiksi yang berisiko tinggi dimana negara tersebut memiliki defisiensi strategis yang signifikan pada rezim pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM). Untuk semua negara yang diidentifikasi FATF berisiko tinggi, FATF meminta semua anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan EDD, dan dalam keadaan yang sangat serius, menerapkan countermeasures untuk melindungi sistem keuangannya dari kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan PPSPM yang risikonya berasal dari negara-negara berisiko tinggi tersebut. Pada periode sebelumnya, daftar ini disebut dengan Black List.

Sehubungan dengan pandemi Covid-19, sejak Februari 2020, FATF memutuskan untuk menunda proses reviu terhadap High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action.  Oleh karena itu, FATF menyatakan bahwa daftar High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action periode Maret 2022 ini masih mengacu pada daftar yang dikeluarkan pada periode Februari 2020. Meskipun pernyataan tersebut mungkin tidak mencerminkan kondisi terkini dari rezim APU PPT di negara-negara tersebut, FATF meminta untuk menerapkan countermeasures yang tepat, independen, efektif dan proporsional untuk melindungi sistem keuangan internasional dari risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TTPU)/Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT)/Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM). Adapun negara yang masuk kedalam daftar High-Risk Jurisdictions subject to a Call for Action periode Februari 2020 hinggi periode saat ini adalah sebagai berikut:

  • Korea Utara (Democratic People's Republic of Korea/DPRK)

Terkait kegagalan DPRK untuk mengatasi defisiensi yang signifikan dalam rezim APU PPT dan ancaman serius yang ditimbulkannya terhadap integritas sistem keuangan internasional, FATF mendesak DPRK untuk segera mengatasi defisiensi tersebut. Lebih jauh, FATF memberi perhatian yang serius atas ancaman yang ditimbulkan oleh kegiatan terlarang DPRK terkait dengan proliferasi senjata pemusnah massal (PPSPM) dan pendanaannya.

    • Iran

Pada Juni 2016, Iran berkomitmen untuk mengatasi defisiensi strategisnya. Rencana aksi Iran berakhir pada Januari 2018. Pada Februari 2020, FATF mencatat Iran belum menyelesaikan rencana aksi tersebut. Saat ini, mengingat kegagalan Iran untuk memberlakukan Palermo and Terrorist Financing Conventions sejalan dengan Standar FATF, FATF sepenuhnya mencabut penangguhan counter-measures dan menyerukan kepada para anggotanya dan mendesak semua yurisdiksi untuk menerapkan counter-measures yang efektif, sejalan dengan Rekomendasi 19.

https://www.fatf-gafi.org/publications/high-risk-and-other-monitored-jurisdictions/documents/call-for-action-march-2022.html

2.     Jurisdictions under Increased Monitoring

Jurisdictions under Increased Monitoring adalah daftar yurisdiksi yang secara aktif bekerja sama dengan FATF untuk mengatasi defisiensi strategis dalam rezim APU PPT mereka. Ketika FATF menempatkan yurisdiksi dalam status under Increased Monitoring, berarti negara tersebut telah berkomitmen untuk menyelesaikan dengan cepat defisiensi strategis yang teridentifikasi dalam jangka waktu yang disepakati dan dipantau secara ketat. Sebelumnya daftar ini disebut dengan Improving Global AML/CFT Compliance On-going Process atau lebih dikenal dengan Grey ListDalam daftar ini terdapat 2 (dua) kategori yurisdiksi, yakni:

  • Jurisdictions with strategic deficiencies, yaitu yurisdiksi yang dinilai belum mengimplementasikan action plan penerapan program APU PPT sehingga dipantau secara ketat; dan
  • Jurisdictions no longer subject to monitoring, yaitu yurisdiksi yang dianggap telah memiliki kemajuan signifikan sehingga berhasil keluar dari daftar negara berisiko tinggi dan yurisdiksi lain yang dipantau.

FATF dan FATF-style regional bodies (FSRBs) terus bekerja dengan yurisdiksi yang disebutkan di atas dan melaporkan kemajuan dalam mengatasi kekurangan strategis yang teridentifikasi. FATF menyerukan kepada yurisdiksi ini untuk menyelesaikan rencana aksi yang telah mereka sepakati dan sesuai dengan jangka waktu yang diusulkan. FATF menyambut baik komitmen yang diberikan dan akan terus memantau kemajuan mereka. FATF tidak menghimbau penerapan langkah-langkah enhanced due diligence untuk diterapkan terhadap yurisdiksi dimaksud, tetapi mendorong anggotanya untuk mempertimbangkan informasi dari negara – negara ini dalam analisis risiko yang dilakukan.

FATF, secara berkelanjutan, terus mengidentifikasi yurisdiksi lain yang memiliki kekurangan strategis dalam rezim mereka untuk melawan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi. Sejumlah yurisdiksi belum ditinjau oleh FATF dan FSRB.

Sejak awal Pandemi Covid-19, FATF telah memberikan fleksibilitas kepada yurisdiksi yang tidak melaporkan sesuai tenggat waktu, untuk segera melaporkan kemajuan secara sukarela. Negara-negara berikut telah ditinjau kemajuannya oleh FATF sejak Oktober 2021: Allbania, Barbados, Burkina Faso, Philippines, Cayman Islands, Jamaika, Kamboja, Malta, Maroko, Myanmar, Nicaragua, Pakistan, Panama, Senegal, Sudan Selatan, Uganda, and Zimbabwe.

Sementara itu, Yordania, Mali, Haiti, dan Turki diberi kesempatan dan memilih untuk menunda pelaporan. Dengan demikian, status yang dikeluarkan untuk yurisdiksi ini masih sama dengan status pada bulan Juni dan Oktober 2021. Tetapi pernyataan ini mungkin tidak mencerminkan status terbaru dari rezim APU/PPT yurisdiksi tersebut. Setelah peninjauan, FATF sekarang juga mengidentifikasi Uni Emirat Arab sebagai yurisdiksi yang masuk ke dalam daftar jurisdictions with strategic deficiencies.

FATF menyambut baik kemajuan yang dibuat oleh negara-negara ini dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme, terlepas dari tantangan yang ditimbulkan oleh COVID-19.

Dengan demikian, daftar negara/yurisdiksi yang masuk kedalam Jurisdictions under Increased Monitoring pada periode Februari 2022 adalah sebagai berikut:

TanggalJurisdictions with strategic deficienciesJurisdictions no longer Subject to monitoring
4 Maret 2022

Albania

Barbados

Burkina Faso

Cayman Islands

Filipina

Haiti

Jamaica

Kamboja

Mali

Malta

Maroko

Myanmar

Nicaragua

Pakistan

Panama

Senegal

Sudan Selatan

Suriah

Turki

Uganda

Uni Emirat Arab

Yaman

Yordania

Zimbabwe

Sebagai perbandingan, daftar per Oktober 2021 adalah sebagai berikut:

TanggalJurisdictions with strategic deficienciesJurisdictions no longer Subject to monitoring
21 Oktober 2021

Albania

Barbados

Burkina Faso

Cambodia

Cayman Islands

Filipina

Haiti

Jamaica

Mali

Malta

Maroko

Myanmar

Nicaragua

Pakistan

Panama

Senegal

Sudan Selatan

Suriah

Turki

Uganda

Yaman

Yordania

Zimbabwe

Botswana

Mauritius

 

https://www.fatf-gafi.org/publications/high-risk-and-other-monitored-jurisdictions/documents/increased-monitoring-march-2022.html

 

Menindaklanjuti hal tersebut kami menghimbau para Penyedia Jasa Keuangan untuk menindaklanjutinya dengan melakukan mitigasi risiko sesuai dengan ketentuan penerapan program APU PPT yang berlaku.


Artikel Terkait Lain