Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersama
Menteri Keuangan Sri Mulyani hari ini, Selasa (14/3), melakukan dialog dengan
sekitar 150 pelaku usaha perikanan tangkap nasional di Gedung Mina Bahari III,
Jakarta. Dialog ini bertujuan untuk mengingatkan pentingnya kontribusi pajak
dalam pembangunan nasional, serta untuk meningkatkan kepatuhan hukum dan
perpajakan sektor perikanan, khususnya pelaku usaha bidang perikanan tangkap.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mengoptimalkan peran sektor
perikanan tangkap dalam pembangunan nasional.
“Penerimaan pajak dari sub-sektor perikanan berperan
penting untuk pembangunan nasional. Penerimaan tersebut dimanfaatkan untuk
pembangunan manusia dan infrastruktur, khususnya di bidang perikanan,” ungkap
Susi.
Ia mengatakan, perikanan Indonesia, terutama
perikanan tangkap seharusnya mencerminkan besarnya laut Indonesia dengan
memberikan kontribusi ekonomi untuk pemasukan negara di samping kesejahteraan
dan kemakmuran dari pelaku bisnis ini itu sendiri. Namun ia mengakui, sejauh
ini kontribusi yang diberikan perikanan tangkap masih kurang untuk mencerminkan
Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Di
mana, tahun 2016 perikanan tangkap hanya menyumbang 0,02% dari GDP.
Hal ini sesuai dengan data Kementerian Keuangan
(Kemenkeu). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, penerimaan pajak dari
sub-sektor perikanan masih belum optimal. Ia memaparkan perkembangan
sumbangan pajak dari sektor perikanan tangkap. Menurutnya, dari 3.910 wajib
pajak perikanan tangkap yang terdaftar, hanya 2.217 wajib pajak yang melaporkan
SPT, dan dari jumlah tersebut terdapat 1.726 wajib pajak yang masih kurang
bayar. Adapun untuk perkembangan tax amnesty, ada 1.697 atau 43,4% dari 3.910
wajib pajak yang mengikuti tax amnesty dengan jumlah tebusan Rp373,5 miliar,
dan deklarasi harta Rp18.672 triliun.
Adapun wajib pajak pelaku usaha besar perikanan tangkap
menunjukkan tren yang lebih baik, meskipun belum optimal. Dari 200 wajib pajak
besar, 180 di antaranya melaporkan SPT, namun 121 di antaranya masih kurang
bayar. Dari 200 wajib pajak besar tersebut, hanya 147 atau 74% wajib pajak yang
mengikuti tax amnesty dengan jumlah tebusan Rp19,8 miliar, dan deklarasi harta
Rp990 miliar.
Sri Mulyani menyebut, hal ini disebabkan oleh rendahnya
kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan hukum dan perpajakan. Modus pelaku
usaha untuk menghindar dari kewajiban perpajakan antara lain melaporkan jumlah
dan harga kapal dengan under value, melaporkan hasil tangkapan ikan yang tidak
sesuai, tidak melaporkan jenis kegiatan usaha dengan benar, dan tidak
melaporkan pendapatan dengan benar.
Berdasarkan temuan Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dan Satgas 115, masih banyak ditemukan praktik mark down ukuran kapal dan
alih muat (transshipment) yang merupakan modus tindak pidana di bidang
perikanan. Mark down dilakukan untuk tujuan menghindari kewajiban Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), memperoleh BBM subsidi, serta melaporkan hasil
tangkapan lebih kecil dari yang sebenarnya (underreported). Berdasarkan data
PNBP yang diperoleh dari pelaksanaan Gerai Perizinan Kapal Ikan Hasil
Pengukuran Ulang di 47 (empat puluh tujuh) daerah selama bulan April 2016-Maret
2017, negara menerima Rp122 M atas penerbitan 3.008 izin kapal ikan yang
sebelumnya mark down.
Alih muatan kapal ikan (transshipment) secara ilegal yang
dilakukan, juga mengurangi penerimaan negara karena jumlah ikan yang dilaporkan
lebih rendah daripada hasil tangkapan yang sebenarnya. “Akibatnya, penerimaan
pajak dari pelaporan ikan tersebut pun jumlahnya lebih kecil dari yang
seharusnya,” ujar Susi.
Saat ini, modus baru transshipment ilegal ditemukan di
Bitung. Anak Buah Kapal (ABK) berkewarganegaraan Filipina memakai Kartu Tanda
Penduduk (KTP) Indonesia palsu untuk dapat mengawaki kapal pumpboat (berukuran
<10GT). “Kapal yang dijuluki ‘armada semut’ ini langsung mengalihmuatkan
ikan yang ditangkap secara ilegal kepada kapal pengangkut di perbatasan
RI-Filipina,” jelasnya.
Menindaklanjuti hal tersebut, Susi mengajak
seluruh pelaku usaha untuk mematuhi ketentuan hukum dan perpajakan yang
berlaku. KKP akan memastikan kepatuhan pelaku usaha melalui pengetatan proses
izin dan pengawasan kegiatan operasional kapal di lapangan. Pelaku usaha juga
diharuskan menyampaikan informasi yang benar dan valid dalam rangka penerimaan
negara.
“Saya mengimbau, stakeholders perikanan agar mematuhi
peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kita akan mengubah illegal, unreported,
unregulated fishing (IUUF) menjadi legal, reported, regulated fishing (LRRF). Reported
supaya kita tahu potensi perikanan itu berapa besar kita boleh ambil untuk
kelestarian. Kelestarian dari jumlah ikan yang boleh kita tangkap terus
menerus. Makin kita jaga, akan makin lestari, makin berlanjut bisnis perikanan
kita,” ungkap dia.
Lebih lanjut menurut Susi, selama ini sektor
perikanan lebih menguntungkan oknum-oknum yang melakukan eksploitasi ikan,
tanpa memberikan kontribusi kepada negara. “Saya akan terus memperkuat
kerjasama dengan Kementerian Keuangan untuk mengoptimalisasi penerimaan negara
antara lain melalui pertukaran data sektor perikanan, sinkronisasi program dan
kebijakan, serta peningkatan koordinasi pengawasan kepatuhan,” tandasnya.
*sumber: www.kkp.go.id