Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersinergi dengan U.S Department of Justice, Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance, and Training (USDOJ OPDAT) telah menyelenggarakan Workshop Pendampingan Penerapan Program APU PPT bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) pada 6 s.d 8 Juni 2023 di hotel Park Hyatt, Jakarta. Kegiatan melibatkan narasumber dari Grup Penanganan APU PPT (GPUT) OJK, U.S Treasury, USDOJ, ICHIP Attorney Advisor for Southeast Asia for Cybercrime, dan aparat penegak hukum Amerika Serikat. Workshop diikuti oleh 30 peserta Pejabat pada Unit Kerja Khusus (UKK) APU PPT PJK dari sektor perbankan, pasar modal, dan IKNB.
Workshop diselenggarakan untuk meningkatkan efektifitas penerapan program APU PPT dan PPPSPM berbasis risiko oleh PJK, mendorong pemahaman peserta terhadap risiko TPPT dan PPSPM secara mendalam dan komprehensif, serta meningkatkan pemahaman peserta terkait perkembangan tren, modus, dan tipologi, serta penyalahgunaan aset virtual. Workshop ini juga menjadi bagian pemenuhan action plan Indonesia dalam rangka keanggotaan pada Financial Action Task Force (FATF) terkait dengan Immediate Outcome 3-Pengawasan dan Immediate Outcome 11 – Pencegahan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.
Kegiatan dibuka dengan Welcoming remarks Ibu Dewi Fadjarsarie H. selaku Kepala GPUT OJK yang menyampaikan bahwa globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang semakin kompleks mengakibatkan pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)/Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT)/Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM) menggunakan modus yang semakin variatif. Perkembangan virtual asset saat ini, seperti crypto asset, mendapatkan perhatian baik dasi sisi potensi keuntungan secara ekonomis maupun potensi penyalahgunaannya dalam aktivitas terlarang. Kelebihan virtual asset seperti transaksi lintas batas yang lebih cepat dan murah, serta peningkatan privasi transaksi menimbulkan celah bagi pelaku kejahatan yang menjadi tantangan dalam penerapan APU PPT dan PPPSPM. Virtual asset berpotensi digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan, mentransfer, dan menyimpan dana untuk tujuan pendanaan terorisme. Lembaga Pengawas dan Pengatur dan pemerintah di seluruh dunia telah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi risiko yang terkait dengan virtual asset. FATF juga telah menerbitkan panduan untuk membantu negara-negara dalam mengembangkan peraturan dan menerapkan langkah-langkah efektif untuk memerangi TPPU/TPPT/PPSPM yang terkait dengan virtual asset.
Opening Remarks disampaikan oleh Mr. Bruce Miyake selaku Resident Legal Advisor USDOJ OPDAT. USDOJ OPDAT menyampaikan bahwa Workshop ini merupakan kerja sama yang baik antara UDOJ OPDAT bersama OJK guna meningkatkan pemahaman PJK mengenai penerapan program APU PPT dan PPSPM berbasis risiko, khususnya terkait dengan aset virtual. UDOJ OPDAT berfokus pada reformasi peradilan jangka panjang, komprehensif, berkelanjutan, dan telah mengembangkan jaringan global International Computer Hacking and Intellectual Property Advisor (ICHIPs) untuk memperkuat penyelidikan, penuntutan, dan kerja sama lintas batas melawan kejahatan dunia maya, dan kekayaan intelektual. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sinergi dari seluruh pihak dalam melakukan mitigasi risiko mulai dari tindakan pencegahan hingga pemberantasan.
Topik pertama pada workshop adalah urgensi penerapan program APU PPT di sektor jasa keuangan, yang disampaikan oleh Bapak Nelson S.E Siahaan selaku Analis Eksekutif GPUT. OJK merupakan Lembaga Pengawas dan Pengatur bagi sektor perbankan, pasar modal, dan IKNB. Merujuk UU Nomor 4 Tahun 2023, OJK juga akan berwenang mengatur dan mengawasi kegiatan aset kripto yang berlaku efektif pada Januari 2025. Virtual aset memiliki keuntungan yang berpotensi dimanfaatkan sebagai celah TPPU/TPPT oleh pelaku kejahatan. PJK yang menyediakan layanan keuangan terhadap nasabah Virtual Asset Service Providers (VASP) maupun nasabah yang berkaitan dengan aktivitas virtual asset harus: (1) mengimplementasikan risk-based approach (RBA) saat melakukan hubungan usaha dengan nasabah tersebut; (2) mengevaluasi risiko TPPU/TPPT dari hubungan usaha; dan (3) memitigasi risiko tersebut secara memadai. Penerapan Penerapan program APU PPT yang efektif akan menghasilkan laporan kepada PPATK yang berkualitas untuk membantu pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT. Lebih jauh, penerapan program APU PPT yang efektif akan menekan kebocoran perekonomian akibat distorsi perhitungan government expenditure, ekspor dan money supply, dan penerimaan pajak.
Topik kedua adalah kerangka hukum penerapan program APU PPT di sektor jasa keuangan, dengan narasumber Bapak Nasirullah selaku Analis Eksekutif GPUT OJK. Penerapan program APU PPT dan PPPSPM diatur dalam POJK Nomor 12 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan POJK Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Penerapan Program APU dan PPT di SJK (POJK APU PPT). Pedoman secara lebih detil dan teknis dituangkan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) bagi masing-masing jenis PJK. Program APU PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko yang dilakukan oleh PJK. Dalam penerapan Risk Based Approach (RBA), PJK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko TPPU/TPPT. Penerapan RBA membantu otoritas dan PJK untuk memastikan tindakan pencegahan TPPU dan TPPT dilakukan dengan tepat dan mengalokasikan sumber daya secara efektif dan efisien. Kebijakan dan prosedur wajib dimiliki PJK terkait identifikasi dan verifikasi calon nasabah, nasabah, walk in customer (WIC) dan beneficial owner (BO); penutupan hubungan dan penolakan transaksi; pengkinian dan pemantauan data; dan pelaporan kepada PPATK. Apabila calon nasabah atau nasabah menolak mematuhi aturan terkait APU PPT dan PJK tidak dapat meyakini kebenaran identitas dan dokumen dari calon nasabah, maka PJK dilarang membuka hubungan usaha dengan calon nasabah.
Topik ketiga adalah penilaian risiko TPPU/TPPT/PPSPM di Sektor Jasa Keuangan yang disampaikan oleh Sdr. Rifki Arif Budianto selaku Analis Junior GPUT OJK. Kewjiban penilaian risiko bagi PJK diatur dalam Rekomendasi FATF 1.10 dan 1.11. Keberadaan dokumen Penilaian Risiko Nasional dan Sektoral sangatlah penting untuk menentukan tindak lanjut mitigasi yang akan dilakukan sesuai dengan risiko TPPU/TPPT/PPSPM yang ada. Tindak lanjut berbasis risiko akan membuat seluruh stakeholders terkait dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif dan efisien. OJK telah menertbitkan Sectoral Risk Assessment (SRA) 2021 dengan penggunaan data/informasi terkini, perluasan cakupan penilaian, perluasan industri, perluasan point of concern TPPU, penggunaan dasar hukum dalam pemetaan point of concern (berupa pekerjaan nasabah orang perseorangan, bidang usaha nasabah korporasi, dan produk/jasa/layanan), dan penambahan sumber data/informasi yang dianalisis.
Topik keempat adalah elemen, modus, dan tipologi TPPU/TPPT/PPSPM yang disampaikan Sdri. Adriane W. Wiryawan selaku Kepala Subbagian GPUT OJK. Pencucian uang dilakukan melalui 3 (tiga) skema, yaitu placement, layering, dan integration. Beberapa modus yang biasa digunakan dalam pencucian uang yaitu, underground banking, pembelian asset/barang mewah, penyeludupan uang tunai, penukaran uang, smurfing, structuring, u-turn, cuckoo smurfing, co-mingling, penggunaan identitas pihak ketiga, dan pencucian uang dengan mekanisme perdagangan. Pencucuian uang biasanya dilakukan untuk kepentingan pribadi dengan nominal dana yang besar melalui tindak pidana asal illegal. Sementara itu, pendanaan terorisme biasanya dilakukan untuk kepentingan politik, agama, dan ideologi. Nominal dana yang digunakan dalam pendanaan terorisme relatif bernilai kecil yang dapat peroleh melalui aktivitas legal dan ilegal.
Topik kelima adalah tren, modus, dan tipologi TPPT secara global yang disampaikan oleh perwakilan aparat penegak hukum Amerika Serikat. Pendanaan TPPT biasanya dapat melalui Non-Profit Organization (NPO) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa modus TPPT seperti nominal transaksi yang relatif kecil, pola pass by, menggunakan kode transaksi tertentu, dan menerima dana dari yurisdiksi atau wilayah berisiko pendanaan terorisme, serta menghindari tatap muka dengan pihak lain. Beberapa tipologi TPPT antara lain: (1) pengumpulan dana (generating revenue/raising/collecting funds) dalam bentuk donasi melalui sosial media, pemerasan penduduk lokal dan asing, dan sponsor negara terhadap terorisme; (2) pemindahan dana (movement of funds) seperti transfer dana melalui perbankan, dan pembawaan uang tunai; dan (3) penggunaan dana (use of funds) baik bagi organisasi terorirs maupun aktor teroris tunggal dan sel-sel teroris kecil.
Topik keenam adalah modus, dan tipologi PPSPM secara global yang disampaikan oleh Neil Bhatiya selaku Senior Policy Advisor, US Treasury dan perwakilan aparat penegak hukum Amerika Serikat. Tahapan pendanaan dapat dilihat dari (1) pengadaan barang dan teknologi sebagai masukan langsung ke dalam senjata pemusnah massal, (2) penggalangan dan pemindahan dana untuk mendukung langsung pengadaan sehingga memberi kemudahan pengembangan lebih lanjut kemampuan senjata pemusnah massal. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam PPPSPM antara lain: (1) Kurangnya pemahaman tentang PPSPM seringkali diasumsikan dengan penghindaran sanksi; (2) Pedoman pencegahan Pendanaan Proliferasi bagi PJK belum memadai; (3) PJK hanya terlibat pada limited range dari transaksi PPSPM, bukan dalam jaringan yang lengkap; (4) Hanya beberapa PJK yang menggunakan indikator TPPU/TPPT untuk mendeteksi PPSPM; dan (5) Terbatasnya akses untuk melakukan sharing data antara PJK dengan otoritas/lembaga terkait.
Topik ketujuh adalah kewajiban tindak lanjut DTTOT dan PPSPM serta pertukaran Informasi dan mekanisme laporan melalui SIGAP yang disampaikan oleh Bapak Mulyadi Husin selaku Analis Eksekutif, Sdri. Pocut Syakina Tikita Farne selaku Analis Junior, dan Sdri. Marshella Eka Ramdhania selaku Analis Junior pada GPUT OJK. OJK telah menyusun Panduan Pencegahan TPPT sebagai tindak lanjut hasil MER berisi gambaran TPPT, indikator risiko, dan strategi mitigasi risiko yang dapat dilakukan. Secara umum panduan tersebur mencakuo penerapan CDD dan Enhanced Due Diligence (EDD) secara optimal dan berkelanjutan, tindak lanjut atas DTTOT sesegera mungkin yang dapat diakses pada SIGAP, serta pemanfaatan Sistem Informasi Terduga Pendanaan Terorisme (SIPENDAR) milik PPATK. OJK menyampaikan DTTOT dan DPPSPM serta setiap perubahannya disertai dengan permintaan Pemblokiran secara serta merta melalui SIGAP. PJK wajib menindaklanjuti data tersebut serta menyampaikan laporannya ke Polri/PPATK dan ditembuskan ke OJK melalui SIGAP. Narasumber memaparkan petunjuk penggunaan SIGAP bagi penyedia jasa keuangan mencakup registrasi, login akun, reset password, serta mekanisme tindak DTTOT dan daftar PPSPM.
Topik terakhir adalah definisi, karakteristik, bisnis proses dan ekosistem virtual asset serta modus dan tipologi penyalahgunaannya untuk TPPU/TPPT, yang disampaikan oleh Mr. Scott Bradford selaku ICHIP Attorney Advisor for Southeast Asia for Cybercrime. Aset virtual bersifat pseudo-anonymous dan diterima secara internasional sebagai alat pembayaran atau investasi tanpa proses penukaran. Selain itu terdapat decentralized virtual asset dengan jaringan berbasis peer-to-peer, tidak terdapat pengawasan/pemantauan terpusat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai celah TPPU/TPPT oleh pelaku kejahatan. Aset virtual dalam bentuk koin diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu Bitcoin, Alternative Coin (Altcoin), dan Private Coin (Monero). Bitcoin merupakan aset virtual dengan konsep uang digital, sementara Monero merupakan aset virtual dengan konsep uang digital yang tidak dapat dilacak dan tersembunyi. Koin Monero tidak dapat diidentifikasi infromasi pengirim dan penerima karena bersifat rahasia sehingga menjadi ancaman dan risiko baru terhadap pendanaan kejahatan, khususnya TPPT dan PPSPM. Terdapat pengaturan yang cenderung berbeda terkait aset virtual di setiap negara. Sebagai perbandingan, terdapat beberapa negara mengaturnya sebagai sistem pembayaran, ada yang meregulasinya sebagai Initial Coin Offering (ICO), dan ada juga yang mengaturnya sebagai exchangers maupun sebagai Digital Token Offering. Indonesia sendiri hingga kini meregulasi aset kripto sebagai komoditi. Kesenjangan antar yurisdiksi ini berpotensi membuka peluang penyalahgunaan aset virtual.
Selama kegiatan berlangsung, peserta workshop secara secara aktif menyampaikan pertanyaan dan tanggapan dalam sesi diskusi dan studi kasus (practice session) yang dipresentasikan kepada narasumber. Pada sesi studi kasus, peserta workshop mengidentifikasi skema transaksi dari dua kasus yang diberikan oleh narasumber. Selanjutnya, peserta workshop menganalisis tindakan CDD dan menetapkan indikasi red flag yang terjadi dalam kasus dimaksud. Dari hasil analisis tersebut, setiap peserta menjelaskan tindak lanjut yang akan dilakukan sebagai PJK untuk mencegah dan memitigasi risiko TPPU/TPPT/PPSPM.