Keberlanjutan telah menjadi salah satu pertimbangan utama dalam setiap pembiayaan/investasi di sektor keuangan. Namun demikian, dibutuhkan konvergensi terminologi bagi pelaku pasar dan pemangku kepentingan yang lebih luas. Salah satu tujuan dari kebijakan keuangan berkelanjutan adalah memastikan bahwa seluruh SJK dan pemangku kepentingan menggunakan kosakata umum dan transparan mengenai terminologi di keuangan berkelanjutan. Hal ini menjadi kontribusi yang terukur terhadap upaya berkelanjutan lainnya di SJK untuk mengembangkan istilah dan definisi utama dalam keuangan berkelanjutan.
Pemanfaatan sumber daya alam dan kondisi lingkungan yang baik merupakan aset modal perekonomian utama Indonesia. Selayaknya manajemen aset, sumber daya alam dan kondisi lingkungan perlu dikelola dengan baik agar dapat terus menyokong perekonomian secara berkelanjutan. Sektor keuangan dapat berperan sebagai katalis untuk mempercepat penerapan aktivitas ekonomi yang berdampak positif terhadap lingkungan dalam membangun perekonomian yang lebih tangguh, sehingga dibutuhkan pemahaman yang sama mengenai kategori kegiatan usaha melalui Taksonomi Hijau. Taksonomi Hijau menjadi penting karena dapat memberikan pemahaman lebih baik dan memudahkan bagi SJK dalam mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan portofolio produk dan/atau jasa keuangan. Dengan demikian, Taksonomi Hijau diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).
Di tingkat global, baik otoritas keuangan maupun entitas internasional telah mengembangkan Taksonomi Hijau atau panduan terkait definisi aktivitas hijau. Taksonomi Hijau mengklasifikasikan aktivitas ekonomi untuk mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Adapun tujuan strategis dari Taksonomi Hijau adalah untuk mendorong inovasi penciptaan produk/proyek/inisiatif hijau sesuai dengan standar ambang batas oleh pemerintah.
Taksonomi Hijau disusun secara struktural berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan tidak hanya berfokus pada subsektor/kelompok/kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai hijau namun disertakan juga sektor/kelompok/kegiatan usaha yang belum terklasifikasi ke dalam kategori hijau. Taksonomi Hijau juga tetap membuka ruang untuk sektor/kelompok/kegiatan usaha yang belum tercantum di KBLI sesuai klarifikasi dari kementerian terkait.
Terdapat 2.733 sektor dan subsektor yang telah dikaji, dan 919 diantaranya dapat dipetakan pada subsektor/kelompok/kegiatan usaha (KBLI Level 5) serta terklarifikasi mengenai ambang batasnya oleh kementerian teknis terkait. Dari 919 subsektor/kelompok/kegiatan usaha tersebut, terdapat 904 yang belum dapat dikategorikan secara langsung sebagai sektor hijau (terdapat prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu), sementara 15 lainnya dapat masuk secara langsung sebagai kategori hijau. Klasifikasi kriteria pada Taksonomi Hijau dibagi menjadi tiga kategori yaitu: hijau (do no significant harm, apply minimum safeguard, provide positive Impact to the environment and align with the environmental objective of the Taxonomy), kuning (do no significant harm), dan merah (harmful activities). Dokumen ini juga mencatat adanya 198 usulan subsektor baru dari beberapa kementerian teknis dan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait.
Ke depan, Taksonomi Hijau diharapkan dapat meningkatkan kualitas dalam pengungkapan Laporan Keberlanjutan SJK dan perbaikan kinerja lingkungan pada kegiatan ekonomi dan investasi.
Selengkapnya silakan unduh materi terlampir.